Pengertian Masjid
PENGERTIAN MASJID
Oleh
Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani
Lafazh اَلْمَسَاجِدُ adalah jamak dari lafazh مَسْجِدٌ
Masjid (مَسْجِدٌ) dengan huruf jiim yang dikasrahkan adalah tempat khusus yang disediakan untuk shalat lima waktu. Sedangkan jika yang dimaksud adalah tempat meletakkan dahi ketika sujud, maka huruf jiim-nya di fat-hah-kan[1] مَسْجَدٌ
Secara bahasa, kata masjid (مَسْجِدٌ) adalah tempat yang dipakai untuk bersujud. Kemudian maknanya meluas menjadi bangunan khusus yang dijadikan orang-orang untuk tempat berkumpul menunaikan shalat berjama’ah. Az-Zarkasyi berkata, “Manakala sujud adalah perbuatan yang paling mulia dalam shalat, disebabkan kedekatan hamba Allah kepada-Nya di dalam sujud, maka tempat melaksanakan shalat diambil dari kata sujud (yakni masjad = tempat sujud). Mereka tidak menyebutnya مَرْكَعٌ (tempat ruku’) atau yang lainnya. Kemudian perkembangan berikutnya lafazh masjad berubah menjadi masjid, yang secara istilah berarti bengunan khusus yang disediakan untuk shalat lima waktu. Berbeda dengan tempat yang digunakan untuk shalat ‘Id atau sejenisnya (seperti shalat Istisqa’) yang dinamakan اَلْمُصَلَّى (mushallaa = lapangan terbuka yang digunakan untuk shalat ‘Id atau sejenisnya). Hukum-hukum bagi masjid tidak dapat diterapkan pada mushalla[2].[3]
Istilah masjid menurut syara’ adalah tempat yang disediakan untuk shalat di dalamnya dan sifatnya tetap, bukan untuk sementara [4].
Pada dasarnya, istilah masjid menurut syara adalah setiap tempat di bumi yang digunakan untuk bersujud karena Allah di tempat itu[5]. Ini berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
وَ جُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًاوَطَهُوْرًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِيْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ، فَلْيُصَلِّ
..Dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat shalat serta sarana bersuci (tayammum). Maka siapa pun dari umatku yang datang waktu shalat (di suatu tempat), maka hendaklah ia shalat (di sana).[6]
Ini adalah kekhususan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummatnya. Sementara para Nabi sebelum beliau hanya diperbolehkan shalat di tempat tertentu saja, seperti sinagog dan gereja. [7]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
وَاَيْنَمَاأَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ، فَهُوَمَسْجِدٌ
Dan di tempat mana saja waktu shalat tiba kepadamu, maka shalatlah, karena tempat itu adalah masjid. [8]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits itu menunjukkan dibolehkannya shalat di semua tempat, kecuali yang dikecualikan oleh syara’. Tempat yang dikecualikan tersebut adalah pekuburan dan tempat selainnya yang bernajis seperti tempat sampah dan pejagalan (tempat penyembelihan hewan). Demikian pula tempat yang dilarang untuk melakukan shalat dikarenakan alasan tertentu yang lain. Yang terakhir ini semisal tempat unta-unta menderum, dan lain-lainnya seperti di tengah jalan, di kamar mandi (sekalipun suci), dan tempat selain itu. Alasannya adalah karena ada hadits yang melarangnya. [9]
Adapun lafazh al-jaami’ (اَلْجَامِعُ) adalah sifat dari masjid al-masjid (اَلْمَسْجِدُ). Disifati demikian karena masjid adalah tempat yang menghimpun ahli masjid di sana. Berdasarkan hal ini maka orang mengatakannya : اَلْمَسْجِدُ الْجَامِعُ (dengan susunan sifat dan maushuf-nya). Namun boleh juga dikatakan (مَسْجِدُ الْجَامِع) dengan susunan idhafat (susunan mudhaf dengan mudhaf ilaihnya) dengan makna مَسْجِدُ الْيَوْمِ الْجَامِعُ artinya : tempat orang bersujud (shalat) di hari mereka berkumpul (hari Jum’at).[10] Dan istilah اَلْمَسْجِدُ الْجَامِعُ atau مَسْجِدُ الْجَامِع digunakan untuk masjid yang dipakai untuk shalat Jum’at, sekalipun masjid itu kecil, asalkan orang-orang berkumpul di waktu yang diketahui (hari Jum’at) untuk shalat Jum’at
[Disalin dari kitab Al-Mabhatsus Saadisu wal Isyruun Shalaatul Maaridh (Juz-un min Shalaatul Mu’min), Penulis Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Edisi Indonesia Akhlak Bertamu Ke Baitullah, Panduan Lengkap Etika Di Dalam Masjid, Penerjemah Ade Ikhwan Ali, Penerbit Pustaka Ibnu Umar – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Lihat Lisaanul Arab karya Ibnu Manzhur, bab ad-Daal, fasal al-Miim (III/204-205) dan Subulus Salaam karya ash-Shan’ani (II/179)
[2]. [Maka tidak ada shalat tahiyatul mushalla, yang ada hanya tahiyatul masjid. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan masjid, tidak dapat diterapkan pada mushalla]
[3]. I’laaamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid, hal. 27-28. Dan lihat Masyaariqul Anwaar karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/207), Mufradaatu al-Faazhil Qur’an karya al-Asfahani (hal. 397), Mirqaatul Mafaatiih Syarah Misykaatil Mashaabiih karya al-Mula Ali al-Qari (X/12), dan Syarhut Thaibi ‘alaa Misykaatil Mashaabiih (XI/3635).
[4]. Mu’jamu Lughatil Fuqahaa’ karya ustadz Dr. Muhammad Rawas (hal. 397)
[5]. Lihat I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masajid karya az-Zarkasyi (hal.27)
[6]. Muttafaq ‘alaih : al-Bukhari, kitab at-Tayammum, bab Haddatsanaa Abdullah bin Yusuf (no. 335) dan Muslim kitab al-Masaajid, bab al-Masaajid wa maudhi’ush shalaah (no. 521)
[7]. Lihat al-Mufhim lima Asykala min Talkhiishi Kitaabi Muslim karya al-Qurthubi (II/117)
[8]. Muttafaq ‘alaih : al-Bukhari kitab al-Anbiyaa, babوَوَ هَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ بِعْمَ الْعَبْدُ إِنَهُ أَوَّابِّ (no. 425) dan Muslim, kitab al-Masaajid wa Maudhi’ush Shalaah, bab al-Masaajid wa maudhi’ush shalaah (no. 520)
[9]. Syarhus Nawawi ‘alaa Shahiihi Muslim (V/5)
[10]. Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnu Maznhur, bab al-Ain fasal al-Jiim (VIII/55)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2524-pengertian-masjid.html